Di Ujung Penantian

Oleh: Zulfa Khairina

“Jadi, semuanya berapa Bu?”

“Seratus lima puluh ribu, Neng”

Setelah itu perempuan muda yang tengah hamil tua itu pun mengambil uang dari dompetnya dan memberikan pada mertuaku yang tengah melayani pembeli. Kemudian sang perempuan pun berlalu.

Tak lama kemudian bu Halimah mertuaku memulai pembicaraan.

“Tuh. Orang mah sudah hamil aja.” Aku hanya membalas dengan senyuman padahal hati ini merasa getir. Dengan keadaan berjauhan dengan suami, tinggal di rumah mertua, belum punya keturunan lagi. Ah…lengkap sudah penderitaanku. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Wanita mana yang tidak menginginkan pernikahannya dihiasi dengan tangisan bayi, tawa canda keceriaan. Aku seolah hidup dalam sebuah sinetron berjudul “Menanti Buah Hati” pikirku. Begini rasanya dikucilkan, dianggap tak mampu memberikan keturunan. Sampai kapan penantian ini akan berakhir.

...

Malam itu, dingin sekali. Sedingin hatiku tanpa ada yang menemani karena suami yang belum kembali.

“Assalamu’alaikum…”Ada suara yang memecahkan keheningan malam.

“Wa’alaikum salam…Eh, Mas baru datang toh. Kok malem-malem sih Mas.” jawabku sambil membukakan pintu dan menyambut suami yang baru saja datang dan terlihat begitu lelah.

“Iya Dek. Di jalan macet sekali karena banjir jadi mobil jalannya hati-hati.”

“Oh gitu. Ya udah tak bikinkan air panas untuk mandi. Trus istirahat. Kelihatannya Mas capek sekali”

Menjelang tidur seperti biasa kami bercerita tentang kekjadian selama seminggu kebelakang. Maklum, kami hanya bertemu seminggu sekali.

“Dek,”

“Ya Mas”

“Gimana kalo kita punya anak asuh saja. Kebetulan di tempatku mengajar ada anak yang kurang mampu.”

“Mmm… maksud Mas kita membiayai segala kebutuhan sekolahnya? Boleh. Anaknya perempuan apa laki-laki?”

“Perempuan.”

“Oh?” kataku. Kenapa harus perempuan sih? Bathinku. Belum selesai yang satu nambah lagi persoalan berikutnya. Sabar…Sabar.

...

Waktu berlalu dengan sedikit perasaan was was. Tapi aku berusaha tegar. Menghadapi semua.

“Mas. Jangan lupa nanti tanggal 23 desember ada nikahan sodara. Aku ingin datang ke pernikahannya. Sekaligus silaturahmi dengan keluargaku di kampung. Sudah lama kita gak ke rumah mama.” begitu kataku lewat telphone. Waktu itu belum ada wa yang bisa memfasilitasi untuk video call.

“Oh iya Dek. Insya Allah. Akan aku usahakan.” Jawabnya dari ujung sana.

Akhirnya tanggal 23 Desemberpun tiba bertepatan dengan hari Minggu waktu itu. Suamiku telah berada di kampung bersamaku. Betapa senangnya hatiku. Tapi itu tak berlangsung lama. Karena tak lama kemudian dia minta ijin untuk kembali ke tempatnya bekerja karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan begitu katanya. Tapi kok, mendadak banget ya? Kenapa tidak dari kemarin aja pemberitahuannya.

Setelah diselidiki ternyata sang anak asuh minta dibeliin ballpoint gliter. Sebegitu pentingnya kah ballpoint gliter?sampai rela meninggalkan undangan yang disepakati bersama? Oh my God…
Hatiku semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Suatu hari ku temukan hp yang tak sengaja tertinggal ku coba membacanya. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa ada panggilan keluar dan sms malam yang tidak seharusnya dilakukan.

Ku coba tanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepada suami namun tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Ya, hanya diam membisu. Bak patung pahlawan di jalanan yang hanya diam tak berkata apa-apa.

Oh... berarti aku harus memberikan tindakan tegas. Karena sudah mengarah kepada hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bukan mahram yaitu berkhalwat walaupun hanya sekedar telpon dan sms.

Ku berikan peringatan dan minta pengertian pada suami dan anak asuh tersebut bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak seharusnya dilakukan. Kalaupun misalkan harus berubah status dari anak asuh menjadi istri asuh (eh, mana ada ya?) tak mengapa bagiku. Karena dalam Islam diperbolehkan laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Tapi ternyata tak ada niatan baik dari anak tersebut. Karena dirinya sendiri sudah memiliki seseorang yang mencintai dirinya. Ah… harus bagaimana ini?

Ku senantiasa berdo’a meminta yang terbaik dari yang kuasa. Ya Allah, salahkah diriku jika berprasangka demikian?

Akhirnya Allah memberikan jawaban bahwa kami sudah tidak lagi berstatus sebagai orang tua asuh lagi karena siswa tersebut sudah lulus dan sudah memilih bekerja.

...

Libur telah tiba. Masih dengan perasaan yang masih campur aduk. Menanti jawaban dari Sang Pemberi rezeki tentang kegundahan diri yang seakan tiada akhir. Kuingat akan suatu ayat yang membuatku tetap tegar dengan berbagai cobaan. Yakni surat Al Baqarah ayat 286. Yang artinya:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdo’a), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”

Episode kehidupan yang begitu melelahkan membuatku tak berdaya.

“Kring…Kring…”
Telpon jadul berbunyi memecah perenungan tentang kehidupan.

“Assalamu’alaikum. Bu, kapan ibu ambil anak ini? Secepatnya ya Bu, karena tidak ada yang mengurusnya. Kasian. Ibunya meninggal saat melahirkan, bapaknya entah pergi kemana.”

Terdengar suara seorang bidan dari ujung telpon sana. Yang dulu pernah  menawarkan seorang bayi untuk aku asuh sebagai anak.

Teman suami mempunyai kaka seorang bidan. Dan merasa iba dengan kami karena sampai saat itu kami belum dikaruniai keturunan.

Ya Allah, inikah jawaban dari semua kegundahanku selama ini. Aku mendapatkan anak bukan berasal dari rahimku, melalui rahim orang lain. Walaupun sebenarnya keinginanku memang ingin melahirkan. Namun Allah memberikan jalan yang lain bagi diriku.

Sedih bercampur bahagia. Sedih karena hanya ini yang bisa ku dapatkan, bahagia karena Allah memberiku kesempatan untuk mengurus seorang anak yang bukan berasal dari rahimku. Alhamdulillah ‘ala kulli hal. Semoga bisa menjadi wasilah kebaikan menuju surga-Mu.